(Disalin dari “al-wa’ie
No. 140 Tahun XII, 1-30 April 2012” dengan judul asli “TANDA TANYA”)
Demokrasi
merupakan puncak ilmu, ideologi dan wisdom
hasil karya umat manusia abad ke-20, ke-21. Demokrasi telah disepakati untuk menjadi
satu-satunya ‘kiblat’ dalam urusan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir
tidak ada ketidakpastian terhadap demokrasi.
Semua orang menjunjung tinggi Demokrasi. Semua orang merasa salah
bodoh dan dekaden kalau ragu terhadap demokrasi… itu tak lain karena saking sucinya demokrasi.
Demokrasi itu
harga mati. Demokrasi itu kebenaran sejati. Demokrasi itu prinsip yang mutlak,
pedoman kehidupan yang bersifat absolute; tidak boleh ditolak, tidak boleh
dipertanyakan, bahkan sedikit pun tidak boleh diragukan.
Al-Quran boleh
bilang bahwa dirinya la roiba fih, tak ada keraguan
padanya. Namun, menurut undang-undang di negeriku orang boleh meragukan
Al-Quran; bahkan terdapat kecenderungan psikologis empirik untuk menganjurkan
secara implisit sebaiknya orang menolak dan membenci Al-Quran.
Namun, tidak oleh bersikap demikian terhadap demokrasi. Demokrasilah
la roiba fih sejati.
Di dalam prakik konstitusi negeriku demokrasi lebih tinggidaripada Tuhan. Tuhan
berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak
pada kewajiban bersama. Orang tidak ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi
berhadapan dengan aparat hukum kalau menolak demokrasi…
Namun, apa yang
diungkap seluruhnya benar alias tidak salah, yakni menggambarkan realitas nyata
demokrasi dan para pengusungnya, dihadapan agama (baca: Islam) dan para
pembelanya. Demokrasi itu sakral dan suci. Para
pengusungnya adalah manusia yang amanah dan sejati. Sebaliknya, Islam itu
profane dan tidak suci. Para pembelanya bukan
saja manusia tak tahu diri, tetapi pelaku kriminal dan pengkhianat jika
menentang demokrasi.
Barangkali
itulah salah satu gambaran yang diisyaratkan Baginda Nabi saw., “Akan dating kepada umat manusia
tahun-tahun yang penuh tipudaya. Di dalamnya para pendusta dianggap benar,
sementara orang benar dianggap pendusta; di dalamnya para pengkhianat dianggap
amanah, sementara orang-orang amanah dianggap pengkhianat….” (HR. Ibn Majah).
Maka dari itu,
dalam sistem demokrasi, orang bebas ngomong apapun, kecuali syariah Islam;
orang bebas melakukan apapun, kecuali yang mencerminkan Islam. Silahkan
menghina Nabi saw., membakar Al-Qur’an atau menodai agama. Namun, jangan
sekali-kali menghina presiden, melecehkannya, apalagi sampai membanting
fotonya. Itu adalah tindakan kriminal, karena presiden dipilih rakyat,
sementara rakyat adalah pemilik sejati kedaulatan dalam demokrasi.
Dalam demokrasi
silakan para wanita berpakaian mini, berbusana seksi, bahkan telanjang sama
sekali. Itu adalah salah satu bentuk kebebasan yang dijamin demokrasi.
Sebaliknya, tidak boleh wanita memakai jilbab/hijab karena itu berarti
mengancam kebebasan dan keragaman yang menjadi ciri khas demokrasi.
Anak-anak remaja
usia sekolah boleh pacaran bahkan berhubungan seks layaknyasuami-istri. Yang
tidak boleh adalah mereka melakukan semua itu dalam ikatan tali pernikahan.
Itulah pula alasannya mengapa Syekh Puji perlu dipenjarakan. Satu-satunya
kesalahan dia adalah menikahi secara sah gadis remaja dibawah umur. Lain soal
kalau dia memelihara perempuan selingkuhan di luar ikatan pernikahan. Apalagi
kalau dia pergi ke tempat lokalisasi pelacuran yang telah dilegalkan. Bukan
saja boleh, bahkan dia akan diberi penghormatan karena telah mendukung
pembangunan. Bukankah lokalisasi pelacuran menjadi salah satu sumber pemasukan
pajak untuk pembangunan?
Silahkan pula
orang berzina dengan banyak perempuan karena itu dijamin undang-undang. Yang
tidak boleh adalah berpoligami karena poligami menindas perempuan Dan karenanya
melanggar HAM.
Atas nama
demokrasi, boleh Pemerintah menyerahkan sebagian besar sumber daya alam negeri
ini kepada pihak asing; mempersilahkan pemikiran dan budaya asing masuk merusak
generasi; merujuk pada undang-undang barat sekular lewat study banding;
membiarkan gerakan separatisme di Papua atau di Maluku yang nyata-nyatanya
mengancam NKRI, asal pelakunya Kristen dan didukung Negara asing; terus
menaikkan harga BBM dan listrik yang menyengsarakan rakyat, asal menguntung
perusahaan asing; dst. Yang tidak boleh adalah menyerahkan kekayaan milik rakyat
itu semata-mata untuk kesejahteraan rakyat dan merugikan pihak asing;
memasukkan ideologi ‘transnasional’ (baca: Islam) yang bisa memperbaiki
generasi; merujuk pada Al-Quran dan as-Sunnah sebagai satu-satunya solusi;
membiarkan adanya kelompok-kelompok yang memperjuangkan penerapan syariah meski
demi kebaikan negeri ini; dst.
Dalam demokrasi di negeri ini, Presiden boleh berkeluh-kesah setiap
saat merasa dirinya terancam, meski itu baru sebatas anggapan yang
bersangkutan. Sebaliknya, rakyat dituntut selalu tabah mesti nyata-nyata
terancam mati kelaparan. Mereka harus menerima apapun kebijakan Pemerintah,
termasuk dalam mengurangi subsidi BBM, yang tentu makin menyengsarakan. Yang
tidak boleh adalah mengurangi anggaran gaji, tunjangan serta fasilitas Presiden
dan pejabat Negara karena itu berarti merendahkan rakyat sendiri yang telah
dengan susah-payah memilih mereka menjadi para pemangku kekuasaan.
Pertanyaannya,
sebagai Muslim, apalagi pengemban dakwah, akankah semua bentuk kebohongan ini
terus dibiarkan?
Mari kita jawab pertanyaan diatas dengan
semakin meningkatkan keseriusan dan kesungguhan dalam dakwah menegakkan syariah
dan Khilafah Islam. Sebab, hanya dengan itulah segala kebohongan bisa
disingkirkan, dan demokrasi bisa segera dibuang ke keranjang sampah peradaban.
Jika kita masih tak serius dan sungguh-sungguh melakukan perubahan, hakikatnya
kita rela membiarkan umat ini terus menjadi korban. Sunguh, itu adalah
pengkhianatan!
Wama tawfiqi
illa billah. [Arief B. Iskandar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar