20 Mei bagi bangsa Indonesia diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sejarah bicara bahwa Hari Kebangkitan Nasional diperingati setiap tanggal 20 Mei, karena tanggal tersebut adalah hari lahirnya Boedi Oetomo (BO) yang dianggap sebagai penggagas kebangkitan di Indonesia. Apakah benar begitu? Lalu kenapa judulnya saya cantumkan Islam?
Boedi Oetomo (BO) atau Sarikat Islam (SI)?
Sesungguhnya umat Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad.
Menurut Savitri Scherer dalam thesisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo hanyalah sebuah gerakan sosial bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal dan rasis (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiranPriyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi Oetomo menyebut: Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.
Pembelokkan Sejarah
Mengapa untuk itu harus dengan syariah dan Khilafah?
Boedi Oetomo (BO) atau Sarikat Islam (SI)?
Sesungguhnya umat Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad.
Memang,
dalam sejarah yang ditulis secara tidak obyektif, peran umat Islam yang
sesungguhnya sangat sentral itu dihapus atau dikecilkan; kalaupun tetap
tercatat, itu terbaca dalam bingkai yang berbeda, yakni dalam kerangka
nasionalisme sempit, bukan lagi dalam bingkai Islam. Salah satu contoh
sangat nyata dari penghapusan peran Islam adalah apa yang dialami oleh
Sarikat Islam (SI). Sejarah kita mencatat, gagasan kebangkitan itu
datang dari Boedi Oetomo (BO). Karena itu, setiap tanggal 20 Mei, hari
lahir BO, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal
kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. BO tidak bisa disebut sebagai
organisasi yang menggagas, apalagi menggerakkan kebangkitan.
Menurut Savitri Scherer dalam thesisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo hanyalah sebuah gerakan sosial bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal dan rasis (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiranPriyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi Oetomo menyebut: Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.
Karena
itu, banyak pengamat sejarah yang menolak penyematan Boedi Oetomo
sebagai pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH
Firdaus AN, misalnya, dengan tegas mengungkap, “Tidak pernah
sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan
bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki
taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu
Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri.”
Menurut
KH Firdaus AN, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun dalam
perjuangan kemerdekaan, karena mereka terdiri dari para pegawai negeri
yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia.
Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu
gerbang kemerdekaan, karena telah lebih dulu bubar pada tahun 1935.
Lalu
siapa yang layak disebut sebagai sebagai penggerak kebangkitan dan
kesadaran perlawanan terhadap penjajah Belanda? Itulah Sarikat Islam
(SI). Lihatlah, keanggotan SI berbeda dengan BO yang hanya untuk suku
tertentu. SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Haji Samanhudi dan
HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan
Abdoel Moeis dari Sumatera Barat dan AM. Sangaji dari Maluku. Penyebaran
SI juga menasional. Tahun 1916 tercatat ada 181 cabang SI di seluruh
Indonesia dengan sekitar 700.000 anggota. Tahun 1919 anggota SI melonjak
drastis hingga 2 juta orang. Ini adalah angka yang fantastis kala itu.
Adapun Boedi Oetomo pada masa jayanya saja hanya beranggotakan tak lebih
dari 10.000 orang.
Jadi,
SI-lah pelopor yang sebenarnya dari kebangkitan yang bersifat nasional.
Lalu mengapa sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor?Pembelokkan Sejarah
Sejarah memang adalah realitas tangan kedua (second-hand reality).
Yang kita baca sekarang dalam buku-buku sejarah bukanlah fakta sejarah,
tetapi perumusan terhadap fakta sejarah pada masa lalu. Sebagai
realitas tangan kedua, sejarah sangat bergantung pada siapa yang
merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu
ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup
politik yang dominan saat sejarah itu ditulis. Tentu bukan sebuah
kebetulan belaka ketika sejarah Kebangkitan Nasional didasarkan pada
kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarikat Islam, yang sejatinya tidaklah
tepat untuk dijadikan tonggak sejarah penting itu. Ini sebagaimana Hari
Pendidikan Nasional yang bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah
dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, berbelas
tahun sebelum Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa. Sebab, bila itu
dilakukan maka yang akan tersembul adalah spirit atau semangat Islam.
Dalam setting politik penguasa, itu tidak dikehendaki.
Oleh
karena itu, kinilah saatnya membaca ulang sejarah kebangkitan nasional,
sejarah pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya secara kritis
dan obyektif. Sejarah sebagaimana kisah dalam al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran. Penyimpangan atau penutupan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya didapat, yakni spirit Islam dalam perjuangan negeri ini.
Deskripsi kebangkitan Indonesia yang hakiki
Kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia di dunia sebagai ‘abdulLah dan khalifatulLah dengan misi menyembah sang Khalik dan memakmurkan bumi dengan menjalankan syariah-Nya secara kaffah.
Itulah kebangkitan hakiki dengan spirit Islam. Spirit itu pula yang
semestinya sekarang kita ikhtiarkan untuk muncul kembali karena Islamlah
sumber kekuatan perjuangan yang tak akan pernah padam guna membawa
negeri ini ke arah yang lebih baik di masa datang.
Bagaimana mewujudkan kebangkitan Indonesia yang hakiki itu?
Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab Nizahm al-Islam menyatakan bahwa kebangkitan yang hakiki harus dimulai dengan perubahan pemikiran (taghyir al-afkar) secara mendasar (asasiy[an]) dan menyeluruh (syamil[an])
menyangkut pemikiran tentang kehidupan, alam semesta dan manusia, serta
hubungan antara kehidupan dunia dengan sebelum dan sesudahnya.
Pemikiran yang membentuk pemahaman (mafahim) akan mempengaruhi
tingkah laku; akan terwujud tingkah laku islami bila pada diri seorang
Muslim tertanam pemahaman Islam. Dengan demikian kebangkitan umat Islam
adalah kembalinya pemahaman seluruh ajaran Islam ke dalam diri umat dan
terselenggaranya pengaturan kehidupan masyarakat dengan cara Islam.
Untuk itu diperlukan dakwah. Dakwah di tengah kemunduran umat seperti sekarang ini—akibat tidak adanya kehidupan Islam—menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Manhaj haruslah berupa “dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam” (da’wah li isti’nafi al-hayah al-islamiyyah). Itulah dakwah untuk ‘awdah al-Muslimin ila al-‘amal bi jami’i ahkami al-Islam min aqa’id[in], ibadat[in]…bi thariqi iqamah al-khilafah (mengembalikan umat Islam pada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam baik menyangkut akidah, ibadah, makanan minuman, pakaian, akhlak, ‘uqubat maupun muamalah (sosial, budaya, pendikan, politik dan ekonomi) dengan jalan menegakkan kembali Khilafah Islam.
Dakwah semacam ini harus dilakukan secara berjamaah (jama’iyy[an]) atau berkelompok. Jamaah atau kelompok yang dimaksud haruslah bersifat politis (siyasiy[an]) oleh karena tujuan dakwah, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam, adalah tujuan politik.
Dari segi individu, dakwah bertujuan membentuk Muslim yang berkepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah). Secara komunal, dakwah bertujuan untuk melakukan perubahan ke arah Islam hingga terbentuk masyarakat Islam dengan adanya penerapan syariah Islam di bawah naungan Daulah Khilafah. Harus tumbuh kesadaran umum (al-wa’yu al-Islamy) di tengah masyarakat bahwa hanya di bawah naungan Khilafah sajalah seluruh hukum Islam dapat ditegakkan secara kaffah
dan segenap umat dapat disatukan. Hanya dengan syariah saja
problematika umat dapat diselesaikan dengan cara yang benar. Saat itu
kerahmatan yang dijanjikan Allah SWT akan terujud bukan hanya kepada
orang Islam, tetapi juga buat umat selain Islam karena Islam memang
memberikan rahmat bagi sekalian alam.
Mengapa untuk itu harus dengan syariah dan Khilafah?
Karena
tanpa Daulah Khilafah tidak akan mungkin ada persatuan umat yang hakiki
dan penerapan syariah yang diingini. Lalu tanpa syariah bagaimana
mungkin problematika umat akan dapat teratasi dan umat Islam bisa bangkit mencapai kemuliaannya kembali?[]
Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/01/hm-ismail-yusanto-penting-membaca-ulang-sejarah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar