Sabtu, 12 Mei 2012

SEJARAH PERJUANGAN KHILAFAH DI NUSANTARA

(dari Al-Wa'ie edisi Mei 2012)

Kegigihan Para Pejuang Syariah dan Khilafah Di Bumi Nusantara

Sudah menjadi rahasia umum di antara orang/pejabat Belanda bahwa banyak sultan di Indonesia memberikan baiat (sumpah kesetiaan dan kepatuhan)-nya kepada Khalifah di Istanbul. Dengan itu secara efektif membuat kaum Muslim menjadi warga negara Khilafah (Negara Islam).
Kaum Muslim di Aceh adalah yang paling menyadari akan status mereka. Koran Sumatera Post menulis tentang ini pada tahun 1922, “Sesungguhnya kaum Muslim Aceh mengakui Khalifah di Istanbul.”
Bukan hanya itu, mereka juga mengakui fakta bahwa tanah mereka adalah bagian dari Negara Islam. Ini adalah salah satu alasan atas perlawanan sengit mereka melawan Belanda. Sebagaimana yang diakui Koran Sumatra Post tahun 1922: “Pada hari ini, serangan-serangan atas kami menjadi hal penting karena merupakan sikap mentalitas atas ide Perang Suci (jihad fi sabilillah, pen.)”.
Khalifah juga mengirimkan perwakilannya ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim. Koran Het Nieuws van den Dag, misalnya, melaporkan tentang seorang konsul dari Khalifah di Batavia bahwa dia mendukung gerakan mengembalikan Islam (Khilafah, pen.): “Di Indonesia hanya ada satu konsul, yakni di Batavia, dan dia telah menunjukkan antusiasme yang besar bagi gerakan mengembalikan Islam. Oleh karena itu, pemerintah memintanya untuk diganti.”
Koran yang sama menginformasikan kepada pembacanya pada tahun 1912 bahwa Khalifah mengirimkan misi rahasia ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim Indonesia, “Konsul Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintah bahwa utusan rahasia Muhammedan telah dikirim dari Turki ke Indonesia yang dikuasai Belanda, dengan tugas memotivasi orang-orang Islam (untuk memberontak kepada penjajah).”
Begitulah suasana dan semangat perjuangan para tokoh Islam pada masa pendudukan penjajah Belanda untuk mengembalikan syariah Islam dalam ranah politik. Apa yang ditulis oleh koran-koran pada waktu itu, baik koran lokal Indonesia maupun koran yang terbit di Belanda, ternyata secara gamblang menunjukkan bahwa pada masa pendudukan penjajah Belanda telah terjalin hubungan yang baik bangsa Nusantara dengan Khilafah Turki Utsmani. Bukan hanya hubungan ‘pertemanan’ namun lebih dari itu yakni hubungan ‘kenegaraan’. Oleh karena itu, perjuangan formalisasi syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan bukanlah perjuangan individual para tokoh-tokoh, namun merupakan perjuangan yang di- back up langsung oleh institusi Khilafah di Turki saat itu.
Pasca Khilafah Ustmani hancur pada tahun 1924, perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dr. Deliar Noer menulis bahwa penghapusan Kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan di Dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang pembentukan suatu kekhilafahan baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai sambutan atas maksud ini, dibuatlah Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.1
Pada kongres Al-Islam di Bandung yang sejatinya hanya memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan tradisi, mengajukan usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah. Karena terdapat ‘friksi’ dalam masalah inilah maka kalangan ‘pembaru’ yang lebih dominan dalam Kongres Al-Islam di Bandung ini tidak menyambut baik usul-usul KH Abdul Wahab Hasbullah ini. Akhirnya, beliau dan tiga orang pendukungnya keluar dari Komite Khilafah tersebut di atas.
KH Wahab selanjutnya mengambil inisiatif mengundang dan mengajak para ulama-ulama yang beliau kenal seperti dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, Pati dan masih banyak lagi untuk diajak rapat-rapat membahas masalah hancurnya Khilafah. Dalam rapat-rapat tersebut dihasilkan keputusan bahwa mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Dalam Rapat itu pula diputuskan untuk tetap konsisten menempatkan masalah Hijaz [penegakan kembali Khilafah] sebagai pokok pembicaran utama.2
Perjuangan mengembalikan syariah dan Khilafah ternyata bukan hanya dilakukan oleh KH Wahab semata, tetapi hampir seluruh tokoh Islam. Spirit perjuangan sebagian besar dari mereka adalah memperjuangkan formalisasi syariah Islam walau ada yang tidak secara ‘tegas’ menyatakan Khilafah. Sebut saja Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto. Beliau secara gigih memperjuangkan agar syariah Islam dijadikan sebagai sumber hukum dalam bernegara. Tatkala HOS Cokroaminoto melihat rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik, beliau pun ‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.”3
Beliau juga mengatakan bahwa saat itu telah terjadi jahiliah modern. “Kalau alat-alat Pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak pejabat sampai bawahan, sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya. Sebab segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suap dan sebagainya yang secara terang-terangan merugikan negara dilakukan dengan aman oleh mereka, rakyat yang menjadi korban.”4
Apa yang disampaikan oleh Cokroaminoto tampak jelas bahwa syariah Islam dijadikan sebagai landasan pikiran, perasaan dan hatinya.
Oemar Said juga menyatakan, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu hanyalah bisa tercipta karena ‘tauhid’ saja. Tegasnya menetapkan lahir batin: tidak ada sesembahan melainkan Allah saja.”5
Muhammad Natsir pun melakukan hal serupa. Berbicara tentang Muhammad Natsir sejatinya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan syariah Islam di Indonesia. Natsir menganggap bahwa agama dan negara harus dipersatukan dalam semangat untuk menegak-kan hukum Allah.6 Artinya, tidak ada pemisa-han antara Islam dan negara. Bahkan Natsir menegaskan bahwa Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual Muslim yang sempit, tetapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara.7
Muhammad Natsir memahami bahwa tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa hukum-hukum Allah dapat dijalankan dengan baik. Syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin Negara Islam adalah agamanya, sifat dan tabiatnya serta akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya; bukan bangsa, keturunannya ataupun semata-mata karena kapasitas intelektualnya. Islam tidak mengenal lembaga ‘Kepala Agama’ seperti Paus dalam tradisi Katolik. Islam hanya mengenal satu ‘Kepala Agama’, yakni Muhammad Rasulullah saw. Rasulullah Muhammad sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. Rasulullah saw. sebagai kepala agama telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Sistem ini juga harus dijalankan oleh ‘kepala-kepala pemerintahan’ apapun gelarnya, seperti khalifah, amir dan lain sebagainya yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum Muslim. Dia mengambil contoh bahwa para Sahabat Nabi saw. yang pernah menjadi khalifah sesudah beliau seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah ‘kepala pemerintahan’ yang menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Muhammad. Negara, oleh karena itu, bukan merupakan tujuan Islam, tetapi sebagai sarana untuk menegakkan Islam dan merealisasikan aturan-aturan Ilahi yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.8
Aturan-aturan tersebut lengkap mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pergaulan dan sistem-sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan lainnya. Karena itu, negara berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan kesempurnaan berlakunya hukum ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri ataupun sebagai anggota masyarakat dalam sebuah negara.
Pergulatan untuk menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara tidaklah mudah. Kekuatan-kekuatan yang tidak menginginkan tegaknya syariah Islam berusaha menghadang setiap langkah Natsir di Parlemen. Hal ini bisa tercermin dalam perdebatan di Konstituante pada masa itu. Dalam sidang Konstituante tatkala membahas tentang dasar negara, Natsir secara tegas menjelaskan perbedaan pokok sekularisme dengan Islam. Menurut Natsir, sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap yang hanya di dalam batas keduniaan. “Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia, semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang belaka,” ujar M. Natsir.9
Demikian juga yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo, salah satu tokoh Muhammadiyah. Beliau cukup lantang meneriakkan syariah Islam. Beliau memberikan antitesis atas ‘Lima Prinsip Dasar’ yang kemudian dikenal dengan Pancasila yang diajukan oleh Sukarno-Yamin dengan mengajukan pendapat ‘Islam Sebagai Dasar Negara’10 dalam sidang-sidang di BPUPKI. Bahkan, seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikusumo lebih tegas lagi meminta kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan sehingga berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariah Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.
Tatkala perdebatan mengenai kepala negara, salah satu peserta sidang, Kiai Masykur mempertanyakan dengan nada retorika: “…Kalau dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia dikepalai oleh orang beragama lain daripada Islam, umpamanya, apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik? Dan apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya dan apakah demikian itu tidak jahat?
Statemen ini membuat sidang BPUPKI menjadi tegang. Ketegangan semakin memuncak tatkala Tuan Abdul Kahar Moezakir mengajukan pendapatnya untuk mempertegas pendapat Kiai Masykur. Ia bahkan sampai menggebrak meja.
Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh Tuan Abdul Kahar Moezakir ini didukung penuh oleh Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menegaskan: “Saya berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerap kali diterangkan di sini bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Moezakir tadi; kalau ideologi Islam tidak diterima, (saya) tidak terima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral.”11
Kiai Haji Ahmad Dahlan juga melakukan hal serupa. Beliau menyerukan kepada masyarakat dan para pemimpin bangsa untuk kembali pada syariah Islam. Menurut murid beliau, HR Hadjid, tentang KH Ahmad Dahlan bahwa dalam menggerakkan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan berpegang pada prinsip yaitu senantiasa mempertang-gungjawabkan tindakan kepada Allah.12 Ini berarti bahwa setiap tindakan manusia hendaknya senantiasa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam bentuk syariah-Nya. Seruan terikat pada syariah Allah ini bukan hanya ditujukan kepada masyarakat awam, namun juga diserukan kepada para pengambil keputusan (penguasa). KH Ahmad Dahlan menyerukan perlunya setiap pemimpin menambah terus ilmu (Islam, red.) sehingga bijaksana dalam mengambil keputusan dan perlunya dilakukan perubahan untuk menuju keadaan lebih baik.13
Selain itu, cita-cita KH Ahmad Dahlan sebenarnya adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini adalah masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunah Muhammad saw. Mendidik masyarakat supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagaimana yang dijalankan Muhammad saw (Sunnah).14
Walhasil, dari paparan di atas nampak jelas bahwa sejak awal Bumi Nusantara punya hubungan erat dengan Khilafah. Tatkala Khilafh Utsmaniyah tumbang, para pemuka Islam di Nusantara berlomba-lomba untuk berkontri-busi dalam mengembalikan tegaknya Khilafah, termasuk di dalamnya perjuangan untuk menjadikan syariah Islam menjadi dasar dan sumber hukum di negeri ini pada saat awal-awal pebentukan negara Indonesia.
Karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa perjuangan mengembalikan syariah Islam disebut ahistoris maka sejatinya dialah yang ahistoris. Fakta memperlihatkan sebaliknya. Bahkan perjuangan mereka justru dengan kesungguhan dan penuh dengan pengorbanan. Semoga kita bisa menjadi penerus perjuangan mereka dengan penuh ikhlas. Insya Allah.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925
2 Deliar Noer, ibid, hlm. 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.
3 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
4 Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950
5 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
6 http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer.
7 Ningsih dalam http://www.pks-jaksel.or.id/Article133.phtml
8 http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer.
9 Adian Husaini, “Pesan Terakhir Hussein Umar: Puisi Hamka untuk Natsir,” dalam www.swaramuslim.net
10 Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta, GIP, 1996.
11 Ibid.
12 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, Pemikiran dan Cita-Cita KH Ahmad Dahlan
13 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, Ibid.
14 Ahmad Mansur Suryanegara, Prof. Filsafat Sejarah (Makalah Mata Kuliah), Jurusan SPI Fak.Adab IAIN SGD, Bandung, 2003

Pembelokan Sejarah Perjuangan Umat Islam

Konspirasi dalam Piagam Jakarta
Piagam Jakarta ditandatangani para pendiri bangsa pada 22 Juni 1945. Keberadaan Piagam Jakarta dirumuskan sejak BPUPKI membentuk panitia khusus yang diamanahi membahas dasar negara Indonesia. Dalam sidang panitia khusus yang dikenal dengan nama Panitia Sembilan itu, empat orang tokoh Islam, yaitu KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakar, Abikoesno Tjokrosoeyoso dan H. Agus Salim mengusulkan Islam sebagai dasar negara, bahkan mereka memperkuat argumentasinya dengan membawa puluhan ribu tanda tangan tokoh Islam, alim ulama dan pimpinan pondok pesantren seluruh Indonesia yang mengingin-kan negara yang akan diproklamasikan berdasarkan Islam.
Namun, tokoh-tokoh nasionalis sekular yang ada di Panitia Sembilan, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin dan perwakilan non-Muslim, yaitu A.A. Maramis, menolak tegas usulan tokoh-tokoh Islam tersebut.
Akhirnya, setelah berdebat panjang, Panitia Sembilan merekomondasikan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter) pada 22 Juni 1945. Di antara kesepakatannya adalah, “Negara berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dalam pidatonya pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta ini sebagai gentlemen’s agreement antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Bahkan A.A Maramis, tokoh nasionalis yang mewakili kepentingan non-Muslim menyatakan bahwa dia dan warga non-Muslim setuju 200% atas Piagam Jakarta karena Syariat Islam yang dilaksanakan hanya berlaku bagi penduduk Muslim.
Pada 17 Agustus 1945, para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul di Jl. Pegangsaan 65, Jakarta untuk menyaksikan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, ada fakta yang tidak banyak diketahui bahwa menjelang pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berisi Piagam Jakarta oleh Dr. Moewardi seperti terungkap dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karya Sidik Kertapati.
Fakta lainnya, saat proklamasi dibacakan, tidak ada seorang pun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Ternyata para aktivis Kristen sibuk berkonsolidasi untuk menuntut penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai Proklamasi, ia ditelepon mahasiswa Prapatan 10. Mereka mengatakan bahwa pada 17 Agustus siang hari pukul 12.00 WIB, tiga anggota PPKI asal Indonesia Timur—Sam Ratulangi, Latuharhary dan I Gusti Ketut Pudja—mendatangi asrama mahasiswa dan mengatakan bahwa mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang mereka untuk datang menemui dirinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Sepulang dari pertemuan dengan Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan PPKI di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur sampai pukul 11.30 WIB karena terjadi perdebatan sengit dalam lobi-lobi untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Begitu sengit dan tegangnya pertemuan itu hingga Soekarno memilih tidak terlibat dalam lobi tersebut. Ia jeri dengan kegigihan Ki Bagus dalam mempertahankan Piagam Jakarta. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama Muhammadiyah melakukan pendekatan secara personal kepada Ki Bagus dengan bahasa Jawa kromo inggil, sebagaimana terungkap dalam memoirnya, Hidup Adalah Perjuangan. Kasman menjelaskan perubahan yang diusulkan Hatta, bahwa kata “Ketuhanan” ditambah dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu adalah Allah SWT.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang MPR untuk membuat undang-undang yang sempurna. “Janji Soekarno” itulah yang setidaknya membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukan Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap.
Akhirnya, dalam hitungan kurang dari 15 menit, seperti diceritakan Hatta dalam bukunya, Sekitar Proklamasi, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Menyikapi penghapusan ini, Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih mengatakan, “Piagam Jakarta yang didapat dengan susah payah, memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka, pada rapat PPKI 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah. Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti Mohammad Natsir mengatakan, peristiwa 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak dapat dilupakan. “Menyambut Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.” kata Natsir.
Dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) R.M.A.B Kusuma mengatakan, “Hatta adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terhapuskannya tujuh kata dari Piagam Jakarta. Ia menghapusnya tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun Piagam Jakarta.”
Hatta sendiri menceritakan kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam bukunya Sekitar Proklamasi bahwa pada 17 Agustus 1945 sore, Hatta menerima telepon dari Nishijima, pembantu Admiral Maeda yang memintanya untuk menerima seorang Opsir Kaigun. Hatta mengatakan bahwa Opsir Kaigun yang ia lupa namanya itu memberitahu bahwa wakil Nasrani berkeberatan dengan kalimat pembukaan UUD yang berbunyi: kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Jika kalimat itu ditetapkan, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dalam Mahasiswa ’45 Prapatan 10 karya Dr. Sujono Martosewojo dkk, anggapan bahwa ada Opsir Kaigun yang menemui Hatta kemungkinan adalah Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang memang berpostur tegap, berambut pendek, sipit dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang dikira sebagai opsir Jepang oleh Hatta.1
Oleh karena itu, keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan Opsir Kaigun yang ia lupa namanya itu sangat meragukan hingga Ridwan Saidi dalam sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta, mengatakan, “Dengan segala hormat saya kepada Bung Hatta, ia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta, saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.”
Pernyataan Ridwan Saidi ini dikuatkan dalam buku dari Cornell University AS, bahwa dalang di balik sosok misterius Opsir Kaigun itu adalah Sam Ratulangi yang dia sebut sebagai an astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).

Janji Palsu Soekarno kepada Daud Beureu’eh
Pengkhianatan berikutnya kembali harus dialami umat Islam negeri ini, khususnya apa yang dialami oleh para ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Tanah Rencong. Mereka, melalui ketuanya, Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, meminta kepada Presiden Soekarno untuk mendapatkan kebebasan dalam menjalankan syariah Islam di wilayahnya.
Soekarno sendiri mengakui dalam pidatonya di Blang Padang Aceh, bahwa Aceh adalah daerah modal bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui perjuangan rakyat Aceh seluruh wilayah Indonesia dapat direbut kembali dari tangan penjajah.
Para ulama dan rakyat Aceh telah berjuang mengorbankan harta dan jiwa demi kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan dan pengorbanan itu, mereka buktikan dengan mengumpulkan dana demi membeli pesawat Seulawah untuk kepentingan perjuangan melawan penjajah. Seulawah yang jadi cikal-bakal Garuda Indonesia Airways ini tidak hanya menjadi instrumen penting bagi kemerdekaan bangsa Indonesia, namun juga menjadi modal utama dalam mempertahankan kemerdekaan itu.
Melalui Seulawah, Indonesia mampu menembus blokade udara pasukan penjajah. Pesawat ini pula yang membawa tokoh-tokoh Indonesia ke luar negeri untuk memperkenalkan bayi Indonesia yang baru lahir ke dunia internasional.
Seulawah yang bernilai US$ 120.000 berdasarkan kurs mata uang saat itu ternyata bukan satu-satunya kontribusi Aceh bagi kemerdekaan bangsa ini. Saat Jogjakarta kembali ke pangkuan Indonesia, para ulama dan rakyat Aceh kembali mengalirkan bantuan dana, alat perkantoran dan obat-obatan. Tercatat, sebanyak lima kilogram emas disumbangkan rakyat Aceh demi keberlangsungan pemerin-tahan Indonesia. Mereka juga menyumbangkan uang tunai sebesar US$ 500.000, di antaranya US$ 250.000 untuk membiayai angkatan perang, US$ 50.000 untuk biaya perkantoran pemerintah, US$ 100.000 untuk pengembalian pemerintahan dari Jogjakarta dan US$ 100,000 untuk pemerintahan pusat. Bahkan rakyat Aceh kembali membantu membiayai perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian kedutaan pemerintah di India.
Namun, apa yang didapat oleh para ulama dan rakyat Aceh, khususnya Teungku Muhammad Daud Beureu’eh atas semua yang telah mereka korbankan itu? Sungguh, pada 16 Juni 1948, Soekarno pernah berjanji, bahkan bersumpah atas nama Allah SWT dengan berlinang air mata, bahwa ia akan memberikan kebebasan kepada para ulama dan rakyat Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri berdasarkan syariah Islam.
Kenyataannya, Soekarno tidak pernah menepati janjinya, bahkan sumpahnya sendiri. Ia tidak pernah memberikan kebebasan kepada para ulama dan rakyat Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan Islam dan kebebasan menjalankan syariah Islam di Tanah Rencong. Para ulama dan rakyat Aceh yang diwakili Teungku Muhammad Daud Beureu’eh telah dikhianati oleh pemerintah pusat. Bahkan mereka dicap sebagai pembe-rontak. Padahal sesungguhnya mereka menuntut haknya sekaligus menagih janji atas penerapan syariah Islam yang telah dilecehkan.

Orde Baru: Petaka Umat Islam
Pada masa rezim Orde Baru, atas nama pemulihan keamanan dan ketertiban maka Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semua organisasi, baik organisasi massa maupun politik, Islam maupun bukan, semuanya diharuskan berasaskan atau berdasarkan Pancasila. Semua lawan politik bagi kekuasaan dan pemerintahan dibungkam dengan kekuatan yang memaksa.
Berikutnya, ketika kaum Muslim memiliki kesadaran untuk menghidupkan syariah Islam maka rezim Orde Baru membungkamnya dengan kekuatan militer. Tidak hanya itu, bahkan untuk sekadar mengenakan penutup aurat bagi wanita Mukminah seperti kerudung pun dilarang. Tidak hanya di instansi pemerintahan, larangan ini sampai masuk ke ruang-ruang kelas di sekolah-sekolah. Arus sekularisme meluas dalam semua sendi kehidupan.
Bahkan tokoh-tokoh Muslim yang vokal dan kritis atas semua kebijakan rezim Orde Baru ini diteror dengan intimidasi dan kekerasan. Meminjam istilah budayawan Permadi, mereka segera di-3B-kan; Bungkam, Bui dan Bunuh. Fakta berdarah peristiwa Pembantaian Tanjung Priok, Haur Koneng dan Talangsari di Lampung adalah tiga di antara kezaliman rezim Orba terhadap umat Islam.
Kelahiran Rezim Orde Baru sejak 1967 ini tidak lepas dari skenario orang-orang kafir Barat untuk menguasai Indonesia. Sejak rezim ini berkuasa, cengkeraman Globo Capitalism atas bangsa Muslim terbesar di dunia ini tampak nyata dari hasil Indonesian Investment Conference untuk mengeksploitasi kekayaan Indonesia oleh para kapitalis asing. Konferensi ini dihadiri oleh perusahaan-perusahaan besar dunia, para kapitalis dan bankir Yahudi, seperti David Rockefeller. Dari sini pula, istilah Mafia Barkeley yang memandu arah kebijakan ekonomi dan pemerintahan Indonesia mulai mengemuka.
Sejak 1967 pula, globalisasi ekonomi Indonesia mulai dijalankan. Atas nama pemulihan ekonomi nasional, rezim yang berkuasa mengikat janji dengan para kapitalis asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini. Demi melicinkan jalan penguasaan mereka atas Indonesia, mereka pun membentuk Inter Government Group on Indonesia (IGGI) yang ironisnya diketuai oleh bekas negara penjajah Indonesia sendiri: Belanda!
Oleh karena itu, rezim yang berkuasa pun tunduk pada kepentingan asing yang bermain untuk mencengkram Indonesia dengan Globo Capitalism dan mustahil memedulikan aspirasi rakyat yang mayoritas umat Islam.

Orde Reformasi: Keluar dari Mulut Buaya, Masuk Mulut Harimau
Euforia Reformasi yang didengungkan sejak awal kejatuhan Orde Baru ternyata berdampak luas di tengah masyarakat Indonesia. Tidak hanya arus kebebasan, HAM dan demokratisasi pada semua sendi kehidupan. Dampak arus Liberalisme ini menyinggung pula tatanan kehidupan umat beragama, khususnya umat Muslim.
Atas nama HAM dan kebebasan berkeyakinan, ide-ide, pemahaman dan keyakinan keimanan umat Islam diracuni dengan pemahaman ide-ide Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Kaum Muslim Indonesia pun direcoki dengan keberadaan sekte-sekte sesat dan menyesatkan seperti Ahmadiyah.
Selain itu, negeri Muslim terbesar ini pun tiba-tiba sibuk dengan kampanye Global War on Terrorism yang diusung AS sejak pemerintahan George W. Bush. Pemerintah pun manut saja mengikuti skenario AS dengan menjadikan Islam dan umatnya sebagai sasaran tembak perang melawan teroris. Bahkan untuk mendefinisikan teror, terorisme dan siapa teroris, pemerintah mengikuti kebijakan politik luar negeri negara adidaya itu, yang dikenal dengan Doktrin Wolfowitz. Doktrin ini adalah modifikasi Protocols of Zion yang dirancang oleh Paul Abraham Wolfowitz, mantan duta besar AS untuk Indonesia pada masa pemerintahan Habibie dan Gus Dur.
Melalui doktrin ini pula, umat Islam yang berpegang teguh dengan syariah Islam dan yang berusaha memperjuangkan penegakkan syariah Islam di negeri ini secara otomatis menjadi lawan bagi kepentingan Amerika dan layak dilabeli sebagai teroris. Rezim yang berkuasa pun lebih nyaman melayani kepentingan asing daripada mengurusi rakyatnya sendiri.
Sungguh tepat apabila pepatah mengatakan bahwa gambaran umat Muslim Indonesia saat ini: keluar dari mulut buaya masuk ke dalam mulut harimau.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []

Salman Iskandar adalah Editor dan Penulis Buku, Pembina Asosiasi Penulis Ideologis (API) Islam.

Catatan kaki
1 Hal ini pula yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Deliar Noer dalam otobiografinya, Aku Bagian Umat Aku Bagian Bangsa (Mizan, 2000),
Maraji’
1 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
2 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Bandung: Mizan, 1998.
3 Anwar Hardjono, dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
4 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997
5 Hartono Ahmad Jaiz, Di Bawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto, Jakarta: Darul Falah, 1999.
6 Kasman Singodimedjo, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
7 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tinta Mas, 1982.
8 Mohammad Natsir, Agama dan negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001
9 Ridwan Saidi, Status “Piagam Jakarta” Tinjauan Hukum dan Sejarah,” Jakarta: 2007. (Makalah disampaikan dalam pertemuan tokoh Islam di Jakarta, 22 Mei 2007).
10 R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004
11 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim Indonesia Paling Berpengaruh, Solo: Tinta Medina imprint of Tiga Serangkai, 2011, cet. ke-1.
12 Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Jajasan Djambatan, 1964, cet. ke-3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar